Oleh: Banon Keke Irnowo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PER/2020 akhir Januari 2020 ini, menandai babak baru era kerja sama di bidang penegakan hukum perpajakan antar negara. Aturan tersebut mengakomodasi pelaksanaan Tax Examinations Abroad (TEA) bagi kepentingan domestik Indonesia.
TEA merupakan salah satu prosedur pemeriksaan yagn nantinya Tim Pemeriksa Pajak dapat melaksanakan kegiatan pemeriksaannya di luar negeri. Beleid ini merupakan sejarah baru mengingat kehadiran Tim Pemeriksa untuk mendapatkan bukti di negara lain mustahil dilakukan sebelumnya. Tentunya, DJP akan sangat diuntungkan dalam hal ini. Aturan ini sendiri merupakan turunan dari pengaturan yang sama setingkat menteri yang terbit tiga tahun silam. Aturan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-39/PMK/2017 mengenai Pertukaran Informasi Berdasarkan Permintaan sesuai Perjanjian Internasional.
Lalu, Untungnya Apa?
Pertama, Pemeriksa/ Penyidik Pajak DJP dapat berburu bukti hingga ke luar negeri. Dahulu prosedur semacam ini kerap ditolak karena tidak ada negara yang akan mempersilakan wilayahnya dimasuki oleh warga negara asing dalam rangka pemeriksaan.
Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat asas kedaulatan yang dianut dalam hukum internasional. Asas ini menghendaki setiap yuridiksi hanya boleh mengurusi urusan pajak di teritorialnya sendiri. Tidak boleh offside batas wilayah yang lain dalam pemajakan. Makanya, sangat diperlukan adanya perjanjian internasional yang menyepakati masing-masing negara secara ikhlas menerima negara lain untuk datang mencari informasi ke dalam wilayah kedaulatannya.
Indonesia telah menandatangani sekaligus meratifikasi perjanjian multilateral Konvensi tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan/ Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters atau biasa disingkat MAC. Tak kurang dari 136 negara yang turut menandatangi MAC demi mendapatkan perlakuan yang sama dalam memperoleh manfaat TEA. Dengan menandatangani perjanjian ini, DJP dapat melakukan pemeriksaan di negara lain yang menandatangi MAC juga. Jadi, lampu hijau bagi pemeriksa kita untuk berburu bukti ke luar negeri.
Kedua, dulu ketika membutuhkan informasi yang berada di luar negeri secara tradisional Pemeriksa harus melakukan korespondensi baik surat-menyurat konvensional ataupun surat elektronik.
Prosedur korespondensi tertulis seperti ini tentu akan memakan waktu. Apalagi dengan keterbatasan media tulisan jawaban yang diterima berpotensi tidak komprehensif. Pemeriksa juga terbatas dalam mengonfirmasi hasil jawaban tanpa wawancara langsung.
Dengan, kehadiran langsung di lokasi tempat sumber informasi berada, maka akan mengeliminasi hambatan-hambatan tersebut. Pemeriksa dapat langsung mengonfimasi temuan. Tidak hanya pemeriksa saja yang diuntungkan, begitu pun juga auditee. Mereka tidak dibebani kewajiban pemenuhan permintaan dokumen karena kendala geografis yang akan menambah biaya administrasi. Lahirnya aturan ini membuat pemeriksaan lebih efisien dan efektif.
Ketiga, TEA dipercaya akan menambah penerimaan dan kepatuhan pajak. Alur logikanya begini, dengan semakin banyaknya data dan informasi yang dapat diakses, maka DJP akan mendapatkan bukti yang valid dan kompeten.
Di mata hakim sengketa pajak, derajat bukti yang paling valid dan kompeten adalah bukti yang didapatkan melalui pihak yang independen. Pihak yang independen atau pihak ketiga dalam hal ini adalah negara mitra. Maka, kasus pajak akan dirasa cukup adil karena didukung bukti yang kompeten.
Dengan penyelenggaraan penegakan hukum seperti ini, peluang penghindaran pajak diharapkan akan menurun. Semakin menurunnya peluang penghindaran pajak, penerimaan pajak diharapkan dapat meningkat. Secara tidak langsung, perilaku penghindaran pajak oleh wajib pajak dipercayai dapat ditekan ketika DJP sebagai operator pengawas di bidang perpajakan memiliki bukti kompeten untuk memenangkan sengketa di pengadilan. Dengan begitu perilaku wajib pajak akan lebih patuh dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Dengan keuntungan yang didapatkan yaitu: akses mendapatkan bukti, efisiensi mendapatkan bukti, serta peningkatan penerimaan dan kepatuhan pajak, maka kehadiran aturan petunjuk pelaksanaan TEA ini lebih menguntungkan Indonesia. Pasca pengaturan amnesti pajak dan Automatic Exchage of Information (AEOI), Indonesia memperoleh kiriman informasi eksternal yang banyak untuk ditindaklanjuti. Tentunya TEA, merupakan saluran yang tepat untuk mengonfirmasi validitas informasi tersebut.
Selain itu, pengaturan TEA yang lebih detil membuktikan komitmen dari pemerintah Indonesia untuk membuka diri dan bekerja sama dengan negara lain dalam isu perpajakan. Pengaturan tersebut sejatinya sejalan dengan komitmen pemerintah pusat yang lebih memfokuskan pada peran-peran negara lain untuk mengatasi permasalahan dalam negeri Indonesia.
Dengan struktur usaha auditee yang multinasional dan terpecah-pecah ke banyak negara saat ini, memaksa DJP harus kreatif mengikuti proses bisnis Wajib Pajak. Sebenarnya, kreativitas dan penegakan hukum adalah hal yang bertolak belakang. Sifat alami penegakan hukum yang tidak boleh mengenal kompromi dan lurus tidak boleh diganggu dengan improvisasi kreativitas. Namun, hal tersebut ternyata bisa dikompromikan lewat penggadaian asas kedaulatan di mata hukum internasional. Saluran sudah terbentuk, maka implementasi dari TEA ini akan sangat dinantikan bagi para pemangku kepentingan perpajakan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.