Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Corona Virus Desesae (Covid-19) atau yang lebih dikenal dengan sebutan virus Korona tengah menjadi buah bibir di tanah air. Hampir di semua tempat, termasuk di jagat maya, topik ini selalu disebut. Puncaknya, setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus Korona pertama di Indonesia pada Senin (2/3).
Kini, masyarakat tanah air mulai dilanda kepanikan. Masyarakat yang tadinya santai menghadapi ancaman virus Korona, bahkan sampai ada yang berseloroh bahwa masyarakat Indonesia kebal Korona karena sudah biasa hidup tidak sehat, berubah menjadi khawatir. Pusat-pusat perbelanjaan ramai diserbu masyarakat yang ingin memborong barang-barang kebutuhan pokok. Untuk jaga-jaga katanya. Belum lagi, melonjaknya harga masker dan cairan pembersih tangan berkali-kali lipat karena tingginya permintaan masyarakat.
Melihat kondisi yang terjadi, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pun angkat bicara. Masyarakat diminta tidak lebay dalam menyikapi virus Korona. Di tengah melambungnya harga masker seperti saat ini, Terawan menjelaskan bahwa orang sehat tidak perlu pakai masker. Katanya, yang perlu pakai masker adalah orang yang sedang sakit agar tidak menularkan penyakit ke orang lain. Eks Kepala RSPAD Gatot Subroto itu pun memeberikan teladan dengan tidak memakai masker, bahkan ketika melakukan kunjungan ke salah satu rumah sakit yang sempat merawat pasien positif Korona di kawasan Depok, Jawa Barat.
Peran Serta Masyarakat
Ancaman virus Korona tidak bisa dihadapi sendirian oleh pemerintah. Diperlukan peran serta masyarakat untuk meminimalkan dampak yang mungkin terjadi. Hal-hal yang dapat dilakukan masyarakat antara lain:
Peran Serta Pelaku Usaha
Tempo.co pada Senin (2/3) mewartakan bahwa para produsen otomotif di Tiongkok bersatu untuk memerangi virus Korona. Total, para produsen otomotif di sana telah menyumbangkan setara Rp1,8 triliun, di luar sumbangan berupa masker wajah dan ambulans. Mereka merasa bertanggung jawab untuk mencegah bencana medis yang sedang terjadi berubah menjadi gangguan sosial ekonomi.
Apa yang dilakukan oleh para produsen otomotif di Tiongkok sangat mungkin untuk ditiru oleh perusahaan-perusahaan mapan di Indonesia. Sudah sepantasnya perusahaan-perusahaan tersebut punya rasa tanggung jawab untuk ikut memerangi virus Korona. Pasalnya, selain karena mereka “cari makan” di Indonesia, mereka jugalah yang nantinya akan terdampak apabila ancaman virus Korona ini berubah menjadi bencana sosial politik. Tapi, dananya dari mana?
Perusahaan-perusahaan mapan di Indonesia dapat menggunakan sebagian dari dana Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (CSR) mereka. Sebagai gambaran, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BRI) pada tahun 2019 mempunyai dana CSR Rp226 miliar seperti diungkap Laporan Tahunan 2019 mereka. Bisa dibayangkan besarnya dana yang bisa terkumpul apabila ada 100 perusahaan mapan di Indonesia seperti BRI yang mau menyumbang untuk memerangi virus Korona. Angkanya tak kurang dari Rp20 triliun! Nilai sebesar itu tentunya dapat dimanfaatkan untuk banyak hal dalam rangka memerangi virus Korona. Bahkan, dana sebesar itu dapat digunakan untuk membangun rumah sakit khusus Korona seperti yang dilakukan Tiongkok tanpa harus membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbatas.
Insentif Pajak dari Pemerintah
Agar perusahaan-perusahaan mapan di Indonesia tertarik untuk berkontribusi dalam rangka penanganan virus Korona, pemerintah perlu memberikan insentif, salah satunya insentif pajak. Walaupun memberikan insentif pajak, bisa dikatakan pemerintah tidak kehilangan potensi apa pun. Di satu sisi, memang pemerintah kehilangan potensi penerimaan pajak. Namun, di sisi lain pemerintah dapat tambahan dana dari perusahaan-perusahaan yang berkontribusi dalam rangka penanganan virus Korona. Artinya, pemerintah impas apabila kebijakan ini diterapkan.
Insentif pajak bagi perusahaan (wajib pajak) yang ikut berkontribusi dalam rangka penanganan virus Korona bisa diberikan dalam bentuk fasilitas libur bayar pajak (tax holiday). Dengan skema ini, wajib pajak bisa dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan (PPh) untuk beberapa tahun ke depan.
Skema lain yang bisa dipilih adalah pemberian fasilitas tambahan pengurang penghasilan bruto (super tax deduction). Dengan skema ini, wajib pajak diberikan hak untuk mengakui suatu biaya melebihi nilai yang sesungguhnya dikeluarkan. Fasilitas ini sebelumnyan juga telah diterapkan untuk mendukung dunia pendidikan dan pelatihan di bidang vokasi. Jika skema ini yang dipilih, katakanlah besaran tambahan pengurang penghasilan bruto yang diberikan 200%, contoh kasusnya sebagai berikut:
PT Solid Perangi Korona menyumbang Rp200 miliar dalam rangka penanganan virus Korona. PT Solid Perangi Korona dapat mengakui biaya sumbangan dalam rangka penanganan virus Korona sebagai pengurang penghasilan bruto sebesar Rp600 miliar [(Rp200 milar + (200% x Rp200 miliar)].
Kebijakan pemberian insentif pajak bagi perusahaan (wajib pajak) yang ikut berkontribusi dalam rangka penanganan virus Korona tentunya merupakan hak mutlak pemerintah. Opsi-opsi skema yang dikemukakan di atas hanya sebatas usulan kepada pemerintah. Jika pemerintah memutuskan untuk menerapkannya, ketentuan mengenai insentif pajak tersebut harus dibuat jelas dan ridgid. Jangan sampai ada pihak-pihak yang justru menyalahgunakannya sehingga melenceng dari semangat awal usulan kebijakan tersebut.
Kita semua pasti berharap ancaman virus Korona di tanah air, bahkan di seluruh dunia, tidak semakin memburuk dan segera berlalu. Namun, kalau yang terjadi nanti justru sebaliknya, setidaknya kita semua sudah siap. Ya, kita semua akan siap kalau punya soliditas sebagai sebuah bangsa!
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja