“Laba” Yayasan Pendidikan, Bebas Pajakkah?

Pagi itu Wajib Pajak berdatangan ke kantor kami dengan berbagai tujuan. Walaupun hari masih pagi dan suasana iklim yang masih akrab dengan hujan, hal itu tidak mengurangi semangat para Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Salah satu Wajib Pajak yang datang hari itu untuk melaksanakan kewajibannya adalah pengurus sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Dia berencana akan membuat laporan SPT Tahunan Badan. Untuk itu, dia meminta bimbingan dalam pembuatan laporan SPT Tahunan.

            Penulis saat itu memberikan bimbingan sesuai ketentuan perpajakan. Salah satunya adalah tentang kewajiban membuat laporan keuangan yang di antaranya adalah Laporan Laba Rugi dan Neraca. Lampiran keuangan tersebut merupakan lampiran wajib dalam pengisian SPT Tahunan Badan. Tanpa itu, bimbingan pengisian SPT Tahunan Badan tak akan bisa dilakukan.

            Dengan cara yang sederhana penulis menjelaskan bahwa Laporan Laba Rugi atau Income Statement adalah laporan yang mencerminkan hasil kegiatan yayasan tersebut, baik itu “laba” ataupun “rugi”. Laporan ini menggambarkan secara sistematis tentang pendapatan dan beban perusahaan untuk satu periode tertentu, misalnya untuk bulan Januari sampai dengan Desember 2019.

            Penulis juga menjelaskan bahwa Neraca atau Balance Sheet adalah laporan yang sistematis mengenai posisi aktiva, kewajiban dan ekuitas yayasan tersebut per tanggal tertentu. Sehubungan dengan SPT Tahunan Badan yang akan dilaporkan, maka per tanggal yangmenjadi patokan adalah 31 Desember 2019. Neraca yang dibuat akan menggambarkan posisi keuangan yayasan tersebut.

            Namun, bagaimana dengan “laba” yayasan tersebut, apakah kena pajak?

Sisa Lebih

Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 menyebutkan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Dalam pasal 3 Undang-undang tersebut disebutkan bahwa yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Dalam penjelasan pasal tersebut di Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan disebutkan bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain di mana Yayasan menyertakan kekayaannya. Dengan demikian, Yayasan didirikan dengan tujuan melakukan kegiatan nirlaba.

Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan diterbitkan melalui akta notaris. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, disebutkan bahwa yang dimaksud dengam Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi salah satunya adalah yayasan. Berdasarkan peraturan perpajakan, Yayasan mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sebagaimana badan lainnya kecuali yang terdapat peraturan lain yang mengatur berbeda.

Salah satu aturan yang mengatur tentang yayasan yang bergerak di bidang pendidikan adalah Pasal 4 ayat (3)m Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 dam pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-44/PJ.2009 tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Pengecualian dalam peraturan tersebut tersebut hanya diberikan kepada badan atau lembaga nirlaba yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya.  

Berkaitan dengan Laporan Laba Rugi atau Income Statement, bila “pendapatan” lebih besar dengan beban, maka untuk yayasan nirlaba yang bergerak dalam sektor pendidikan, hal tersebut dinamakan dengan sisa lebih. Pengertian sisa lebih dalam peraturan tersebut adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.

Persyaratan Pengecualian

            Berkaitan dengan sisa lebih yang dimiliki yayasan  tersebut yang mendapatkan pengecualian dari Pajak Penghasilan, tentu saja ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Bila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka secara otomatis, “laba” tersebut dikenakan pajak sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini disebabkan, aturan ini merupakan bentuk perhatian dari pemerintah salah satunya pada bidang pendidikan.

Pertama, yayasan tersebut berbentuk badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan telah terdaftar pada instansi yang membidanginya.  Dengan demikian, yayasan yang belum terdaftar pada instansi yang membidanginya tidak mendapatkan pengecualian ini.

Ke dua, sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan,

Ke tiga, yayasan tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya. Pemberitahuan tersebut disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut. Selain itu, untuk lampiran SPT Tahunan. Selain itu, Wajib Pajak juga wajib membuat pernyataan mengenai sisa lebih serta pencatatan tersendiri atas sisa lebih yang diterima dan yang digunakan setiap tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Per-44/PJ.2009.

Patuhi Ketentuan

            Melalui informasi tentang aturan yang diberikan penulis, Wajib Pajak menyimpulkan bahwa yayasannya termasuk yang mendapatkan pengecualian Objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud peraturan yang telah dipaparkan di atas. Namun, di akhir konsutasi, Wajib Pajak berkata bahwa dia berencana akan mendonasikan labanya untuk hal lain di luar kegiatan pendidikan. Di mana menurut hemat penulis, hal tersebut akan menyebabkan “laba” yayasan tersebut akan dikenakan Pajak Penghasilan.

            Akhirnya, penulis menjelaskan secara panjang lebar, berdasarkan pasal 6 Per-44/PJ.2009, yang menyebutkan, salah satunya, apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam empat tahun terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan sejak tahun pajak diperoleh sisa lebih tersebut. Selain itu, pajak penghasilan tersebut akan ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

            Penulis lalu menyarankan agar Wajib Pajak memenuhi persyaratan dimaksud. Karena tujuan dibuatnya peraturan ini adalah bentuk perhatian pemerintah salah satunya kepada dunia pendidikan. Dengan memenuhi ketentuan, maka Wajib Pajak akan lebih nyaman dalam menggunakan hak dan kewajiban perpajakannya.


Sumber: pajak.go.id