Sanksi Administrasi Ini Tidak Dapat Diajukan Pengurangan

Oleh: Fransiskus Xaverius Herry Setiawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak          

Sangat menarik mencermati artikel Saudara Lindarto Akhir Asmoro yang berjudul Jangan Takut Terima STP, Ini Langkah yang Harus Dilakukan. Artikel tersebut diunggah di situs www.pajak.go.id dengan tautan https://pajak.go.id/id/artikel/jangan-takut-terima-stp-ini-langkah-yang-harus-dilakukan.

Pada bagian akhir artikel yang bersangkutan mencantumkan kalimat disclaimer *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja. Hal ini sejalan dengan ketentuan penulisan di situs tersebut. Setiap penulis bebas berpendapat dan bukan merupakan cerminan sikap Direktorat Jenderal Pajak dimana penulis tersebut bekerja.

           Dalam artikel tersebut, Saudara Lindarto Akhir Asmoro menyampaikan tentang penyebab terbitnya Surat Tagihan Pajak (STP) dan beberapa pilihan yang dapat dilakukan Wajib Pajak dalam menanggapi STP yang diterimanya. Pilihan ketiga yang dapat dilakukan Wajib Pajak dalam menanggapi STP menurut Saudara Lindarto Akhir Asmoro adalah Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi. Dasar permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi adalah Pasal 36 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Menurut Saudara Lindarto Akhir Asmoro jenis sanksi yang dimaksud dapat berupa:

  • bunga yang besarnya 2% per bulan;
  • denda, seperti STP Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), Pasal 14 ayat (4);
  • kenaikan, seperti Pasal 8 ayat (5) kenaikan 50%, Pasal 13 ayat (3) kenaikan 50% atau 100%, Pasal 13A kenaikan 200%, Pasal 15 ayat (2) kenaikan 100% .   

Yang menarik untuk dicermati adalah apakah sanksi administrasi berupa Denda Pasal 8 ayat (3) dan Kenaikan Pasal 8 ayat (5) UU KUP dapat diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sesuai ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP?

            Sanksi administrasi Pasal 8 ayat (3) UU KUP berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. Sanksi ini timbul jika telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 UU KUP.

Kemudian Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut.  Pengungkapan ketidakbenaran ini dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.

            Sedangkan sanksi administrasi Pasal 8 ayat (5) UU KUP berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar. Sesuai dengan Pasal 8 ayat (4) UU KUP, sanksi ini timbul jika Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak. Kemudian Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya.

Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan.

            Prinsip dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak adalah memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk secara sukarela menghitung, membayar dan  melaporkan pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, meskipun terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan pemeriksaan maupun pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk secara sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya.

          Pasal 8 ayat (3) UU KUP mengatur bahwa pengungkapan ketidakbenaran tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasinya. Sejalan dengan hal tersebut Pasal 8 ayat (5) UU KUP menegaskan bahwa pajak yang kurang dibayar beserta sanksi administrasinya harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri mengenai pengungkapan ketidakbenaran tersebut disampaikan.

PP 74 Tahun 2011 mengatur lebih lanjut tentang hal tersebut. Pasal 7 ayat 2 huruf c  PP 74 Tahun 2011 mengatur bahwa  pernyataan tertulis pengungkapan ketidakbenaran harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen).

Demikian juga laporan tersendiri secara tertulis pengungkapan ketidakbenaran harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf c PP 74 Tahun 2011.

Oleh karena itu dalam  Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2018 tentang Bentuk dan Isi Nota Penghitungan, Bentuk dan Isi Surat Ketetapan Pajak serta Bentuk dan Isi Surat Tagihan Pajak, tidak diatur mengenai pengenaan sanksi administrasi Denda Pasal 8 ayat (3) UU KUP dan Kenaikan Pasal 8 ayat (5) UU KUP.

          Hak Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP. Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.

Pada bagian Penjelasan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP tidak mengatur jenis sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan pasal berapa saja yang bisa diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi. Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab mengapa Saudara Lindarto Akhir Asmoro memasukkan sanksi administrasi Pasal 8 ayat (3) dan ayat (5) sebagai contoh jenis sanksi administrasi berupa denda dan kenaikan yang dapat diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.

          Lalu jenis sanksi administrasi apa saja yang dapat diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka kita harus melihat ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 mengatur bahwa sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan permohonan Wajib Pajak meliputi:

  1. sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP;
  2. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP; atau
  3. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b.

          Pasal tersebut mengatur secara tegas bahwa sanksi administrasi yang dapat diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi adalah sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak, dan Surat Tagihan Pajak. Bahkan Pasal 5 ayat (6) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 menjadikan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak sebagai salah satu persyaratan formal untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.

            Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka menurut pendapat penulis sanksi administrasi Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (5) UU KUP tidak dapat diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi karena sanksi administrasi tersebut dikenakan atas dasar kemauan dan kesadaran sendiri Wajib Pajak untuk melakukan pengungkapan ketidakbenaran.

Sanksi administrasi tersebut juga tidak “ditagih” melalui mekanisme penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak tetapi pelunasannya menjadi salah satu syarat pengungkapan ketidakbenaran. Karena sanksi administrasi tersebut tidak terdapat dalam produk hukum baik surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak maka sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013, tidak dapat diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.


Sumber: pajak.go.id